Text
Teruslah Bodoh Jangan Pintar
Saat hukum dan kekuasaan dipegang oleh serigala-serigala buas berbulu domba. Saat seluruh negeri dikangkangi orang-orang jualan sok sederhana tapi sejatinya serakah. Apakah kalian akan tutup mata, tutup mulut, tidak peduli dengan apa yang terjadi? Atau kalian akan mengepalkan tangan ke udara, LAWAN!
Saya berpikir bahwa dengan melihat judul dan sinopsisnya tersebut, mungkin novel ini merupakan bagian dari serial Aksi bersama dengan novel-novel populer lainnya seperti Negeri Para Bedebah (2012) dan Negeri di Ujung Tanduk (2013) (tapi setelah mencari tahu belakangan ini, sepertinya novel ini termasuk novel non serial). Jadi saya memutuskan untuk membeli novel ini dan menambahkan juga buku ILY ke dalam keranjang belanjaan saya (ILY merupakan buku ke-15 dari serial Dunia Paralel).
Sama seperti yang Koh Ernest (Indonesia writer and producer) bilang, bahwa buku ini bisa ditamatkan dalam “1 kali duduk” karena gregetan untuk mengetahui ceritanya sampai habis. Saya pun melakukan hal yang sama. Kurang lebih saya menghabiskan waktu 6 jam untuk menamatkan buku ini sampai ke halaman terakhir.
Lalu bagaimana pendapat saya tentang novel ini?
Pertama, alur cerita. Menurut saya, cerita dalam novel ini sangat unik. Pada dasarnya, novel ini hanya menceritakan tentang sebuah proses persidangan Konsesi terkait dengan konsensi apakah sebuah perusahaan tambang besar di Indonesia tetap boleh melakukan usaha pertambangannya atau tidak. Karena berdasarkan analisa dan pengecekan yang telah dilakukan oleh berbagai organisasi lingkungan, perusahaan tersebut bermasalah, mulai dari adanya berbagai aktivitas pertambangan ilegal, dugaan keterlibatan pemerintah untuk memuluskan usaha tambang tersebut, kurangnya keselamatan kerja yang diberikan kepada pekerja dan tidak bertanggungjawab untuk melakukan reklamasi tambang karena ternyata sampai memakan korban. Konsensi dan pembentukan komite ini dilakukan karena Presiden terpilih sudah berjanji akan mengurus kasus perusahaan tambang ini, setelah didesak oleh banyak aktivitas lingkungan.
Novel ini menceritakan keseluruhan proses sidang yang berjalan dengan durasi lebih dari 1 bulan. Para aktivis lingkungan berjuang dengan sumber daya yang seadanya. Di satu sisi, si perusahaan tambang tersebut menyewa pengacara terbaik di Indonesia untuk memastikan bahwa dia memenangkan konsesi ini dan bisa melenggang untuk mengeruk habis sumber daya di Indonesia tanpa memedulikan peraturan yang ada. Kita pun diajak flashback oleh “Saksi” yang hadir di setiap persidangan dimana saksi akan menceritakan secara detail apa saja yang telah ia alami dan apa yang telah perusahaan tersebut perbuat kepadanya, keluarganya dan lingkungannya. Perasaan yang saya rasakan campur aduk: marah, benci, kecewa, sedih dan hancur.
Yang pada akhirnya, seperti yang bisa kita duga, pertempuran ini dimenangkan oleh pengusaha tambang. Tentu hal ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Sefiksi apapun novel ini, tapi ceritanya terlalu dekat dengan cerita di negeri ini dimana yang berkuasalah yang selalu menang. Mereka bisa “membeli” hukum dengan uangnya.
Namun yang menarik, terdapat plot twist yang membuat kita bisa bergidik saat membacanya. Saya tidak bisa bilang bahwa ceritanya happy ending, tapi paling tidak, itu merupakan salah satu cara terakhir yang bisa dilakukan untuk memutuskan rantai pelanggaran praktik korupsi seperti itu.
Kedua, pesan yang ingin disampaikan. Novel ini membahas tentang isu-isu penting yang biasanya terjadi di sebuah negara yang berkembang. Kita bisa “jembrengkan” isu-isu tersebut: korupsi, penyuapan, pertambangan ilegal, kesejahteraan pekerja, ketidakbebasan bersuara, tenaga kerja asing, lingkungan, bisnis ilegal orang-orang di pemerintah dan perampasan hak masyarakat. Dengan adanya novel ini, bisa kembali mengingatkan pembacanya bahwa praktik-praktik seperti ini lumrah dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha-pengusaha yang kekayaannya tidak ternilai. Ketika penindasan terhadap masyarakat biasa menjadi tidak terlihat sebagai bentuk kejahatan karena berkedok pembangunan. Ketika hukum dan kuasa bisa dibeli oleh orang-orang yang memiliki uang, orang-orang biasa bisa berbuat apa? Toh pemerintah juga mati kutu, bahkan ikut membantunya dengan berbagai macam motif.
Novel ini juga mengajak kita agar semakin aware dan berkontribusi untuk bisa memimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran seperti ini lagi. Caranya bisa bermacam-macam seperti menjadi penulis dengan menyuarakan realita yang terjadi, ikut dalam diskusi-diskusi terkait dengan isu lingkungan, korupsi dan praktik ilegal lainnya, dan masih banyak cara lainnya.
Apa yang bisa saya kritisi? Walaupun saya sudah bisa menebak akhir ceritanya (yang disamakan dengan kebanyakan realita di negeri ini dan di buku ini diceritakan bahwa “lawan” ini memang bukan sembarang lawan), menurut saya buku ini bisa menjadi lebih hidup apabila aktivis lingkungannya lebih “melawan”. Apabila tidak sanggup sendiri, harus meminta bantuan orang-orang yang lebih berkuasa dibanding pemerintah dan pengusaha tambang itu sendiri. Karena di novel ini, para aktivis lingkungan seperti bekerja di bawah tanah, underground. Akan jauh lebih menarik dan menantang apabila ada konfrontasi habis-habisan disana.
Akhir kata, novel ini begitu menyesakkan karena terlalu dekat dengan realita yang sering kita jumpai di negeri ini. Semoga Indonesia bisa lebih baik lagi ke depannya. Semoga praktik-praktik penuh dosa ini bisa segera diakhiri. Terima kasih, Bang Tere Liye untuk karyanya. Tetaplah bersuara dan menyampaikannya ke seluruh pelosok negeri.
Teruslah bodoh, jangan pintar. Karena kalau kita bodoh, hidup kita akan selamat. Tapi sebaliknya, kalau kita pintar, hidup kita bisa hancur lebur.
PMR035231 | 813 TER t | Perpustakaan MAN 3 Kota Banda Aceh (800) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain